Skip to main content

Pengertian Teknologi Pendidikan Menurut Filosofi

 Pengertian Teknologi Pendidikan Menurut Filosofi

1.      Pengertian teknologi pendidikan secara ontologi
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Secara istilah ontologi adalah ilmu yang memperlajari tentang hakikat yang ada (ultimate reality) baik jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Didalam pemahaman ontologi ditemukan pandangan-pandangan seperti monoisme yang menyatakan bahwa hakikat yang asal itu hanya satu. Cabang dari monoisme ini adalah materialisme yang berpandangan bahwa hakikat yang asal adalah satu yaitu dari materi, sementara cabang lainnya yaitu idealisme yang berpandangan bahwa segala yang asal itu berasal dari ruh. Pandangan lainnya adalah dualisme yang menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari dua unsur yaitu materi dan ruh, jasmani dan rohani.
Pandangan lainnya adalah pluralisme yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas yaitu unsur tanah, air, api dan udara. Ada juga faham nihilisme yang nampaknya frustrasi menghadapi relaistas. Realistas harus dinyatakan tunggal dan banyak, terbatas dan takterbatas, dicipta dan tak dicipta, semuanya kontradiksi, sehingga lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Pandangan terakhir yang dikemukan oleh penulis adalah agnostisisme yang merupakan pemahaman yang menolak realitas mutlak yang bersifat trancendental.
Dari  perspektif ontologi diatas maka muncul masalah baru dalam Teknologi Pembelajaran dalam Yusuf hadi Miarso (2004) yaitu:
a.       Adanya berbagai macam sumber untuk belajar termasuk orang (penulis buku, prodoser media dan sebagainya) pesan (yang tertulis dalam buku atau tersaji lewat media), media (buku, program televise, radio, dan sebagainya), alat (jaringan televise, radio), cara-cara tertentu dalam mengolah/menyajikan pesan, serta lingkungan dimana proses pendidikan itu berlangsung.
b.      Perlunya sumber-sumber tersebut dikembangkan, baik seccara konseptual maupun secara faktual.
c.       Perlu dikelolanya kegiatan pengembangan, maupun sumber-sumber untuk belajar itu agar dapat digunakan seoptimal mungkin guna keperluan belajar.

Ketiga poin diatas itulah yang merupakan ruang lingkup wujud obyek penelaahan (ontology) Teknologi Pembelajaran. Suatu obyek yang bukan merupakan lingkup bidang pengetahuan lain.
2.      Pengertian teknologi pendidikan secara epistimologi
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri. “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2001; hal.9)
Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata, yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu. Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific knowledge diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah.
Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional menggunakan metode induksi. Demarkasi antara science dan non-science secara tradisional biasanya pada metode induksi ini.
Diatas telah dipaparkan bahwa Teknologi Pembelajaran sebagai ilmu pengetahuan. Dari sini  muncul pertanyaan bagaimana mendapatkan pengetahuan Teknologi Pembelajaran? Menurut Abdul Gafur (2007) adalah dengan cara:
-          Telaah secara simultan keseluruhan masalah-masalah belajar
-          Pengintegrasian secara sistemik kegiatan pengembangan, produksi, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi.
-          Mengupayakan sinergisme atau interaksi terhadap seluruh proses pengembangan dan pemanfaatan sumber belajar
Untuk mengatasi permasalahan baru tersebut diperlukan sudut pandang atau pendekatan baru yang mempunyai ciri sebagai berikut :
1.      Keseluruhan masalah belajar dan upaya pemecahannya ditelaah secara simultan. Semua situasi diperhatikan dan dikaji secara saling terkait, bukan terpisah-pisah
2.      Unsur yang berkepentingan diintegrasikan dalam suatu proses yang kompleks secara sistematis
3.      Penggabungan ke dalam proses yang kompleks harus mengandung sinergisme (daya lipat), berbeda jika masing-masing fungsi berjalan sendiri-sendiri.
3.      Pengertian teknologi pendidikan secara aksiologi
Aksiologi mempunyai banyak definisi, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Bramel bahwa aksiologi terdiri dari tiga bagian yaitu moral conduct, esthetic expression dan sosio-political life. Aksiologi harus membatasi kenetralan tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa kenetralan ilmu pengetahuan hanya sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai moral .
Dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivisme dan (2) subjectivisme. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind). Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
Dalam hal ini Teknologi Pembelajaran secara aksiologis akan menjadikan pendidikan (Abdul Gafur:2007) sebagai berikut:
-          Produktif
-          Ilmiah
-          Individual
-          Serentak / actual
-          Merata
-          Berdaya serap tinggi
 Aksiologi (Kegunaan) TP
1.      Meningkatkan produktivitas pendidikan, dengan cara :
a.       Mempercepat tahapan belajar
b.      Membantu guru menggunakan waktu lebih baik
c.       Mengurangi beban guru menyajikan informasi
2.      Memberikan kemungkinan pendidikan yang sifatmya lebih individual
a.       Mengurangi kontrol yang kaku dari guru
b.      Memberikan kesempatan anak berkembang sesuai dengan kemampuannya
3.      Memberikan dasar pengajaran yang lebih ilmiah
a.       Perencanaan program pengajaran lebih sistematis
b.       Pengembangan bahan dilandasi penelitian prilaku
4.      Lebih memantapkan pengajaran dengan jalan :
a.       Meningkatkan kapasitas manusia dengan berbagai media komunikasi
b.      Penyajian informasi dan data secara lebih kongkrit
5.      Memungkinkan belajar secara lebih akrab karena dapat :
a.       Mengurangi jurang pemisah antara pelajaran di dalam dan di luar sekolah
b.      Memberikan pengetahuan dari tangan pertama
6.      Memungkinkan penyajian materi lebih luas dan merata :
a.       Pemanfaatan bersama tenaga atau kejadian yang langka secara lebih luas
b.      Penyajian informasi menembus batas geografis
Teknologi Pembelajaran juga menekankan pada nilai bahwa kemudahan yang diberikan oleh aplikasi teknologi bukanlah tujuan, melainkan alat yang dipilih dan dirancang strategi penggunaannya agar menumbuhkan sifat bagaimana memanusiakan teknologi (A.L Zachri:2004).
4.      Teknologi Pendidikan Ditinjau Dari Filsafat Pengetahuan
Bidang pendidikan saat ini terus berkembang, ini terjadi karena adanya tuntutan dari masyarakat agar pendidikan dapat sesuai dengan kebutuhan masa kini dan masa mendatang. Selain itu, pendidikan juga harus meluas sehingga semua orang dapat memperoleh pendidikan sehingga lulusannya dapat berkompetisi dalam tataran global. Hal ini sejalan dengan pernyataan UNESCO mengenai empat pilar pendidikan yaitu learning to do; learning to be; learning to know; dan learning to live together. Learning to do, dimana intinya yaitu bagaimana mengembangkan potensi maksimal pebelajar, sedangkan learning to know yaitu bagaimana melakukan penelitian agar pebelajar dapat mengetahui yang ada di sekitarnya. Semua itu, tentunya bermuara kepada bagaimana cara memecahkan masalah belajar pada manusia.
Teknologi pendidikan ditinjau dari segi filsafat pengetahuan, maka dapat pula disebut sebagai obyek formal atau landasan ontologi teknologi pendidikan. Obyek formal tersebut digarap dengan cara khusus yaitu dengan:
a.       Pendekatan isomeristik yaitu menggabungkan berbagai pemikiran atau bidang keilmuan seperti psikologi, komunikasi, ekonomi, manajemen, dan sebagainya ke dalam kebulatan tersendiri.
b.      Pendekatan sistemik yaitu dengan cara yang berurutan dan terarah dalam usaha memecahkan persoalan.
c.       Pendekatan sinergistik yaitu yang menjamin adanya nilai tambah dari keseluruh kegiatan dibandingkan dengan bila kegiatan itu dijalankan sendiri-sendiri.
d.      Sistemik yaitu pengkajian secara menyeluruh.
e.       Inovatif yaitu mencari penyelesaian masalah dengan pendekatan baru. Komponen inovatif Ini merupakan usaha khusus atau pendekatan ini merupakan asas epistemologis teknologi pendidikan.

5.      Landasan Falsafah Teknologi Pendidikan
Teknologi Pendidikan adalah bidang ilmu yang fokus pada memfasilitasi belajar dan juga meningkatkan kinerja dengan menggunakan pendekatan yang sistemik dan sistematik (AECT 2008). Definisi terbaru mengenai Teknologi Pendidikan yang dirilis oleh AECT pada tahun 2008 dengan sangat jelas memberikan gambaran mengenai ontologi, epistemologi dan juga aksiologi Teknologi Pendidikan.
Ontologi dari bidang ilmu ini adalah Belajar pada manusia baik secara individual maupun yang tergabung dalam organisasi. Epistemologinya adalah pendekatan yang sistematik, sistemik, Sinergis, Inovatif, isomorfis, dan isomeristik. Sedangkan aksiologisnya adalah peningkatan mutu pendidikan, perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
Berdasarkan tinjauan falsafah ilmu, setiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang didukungnya. Ketiga komponen tersebut adalah :
1.      Ontology (apa). Merupakan asas dalam menetapkan ruang lingkup ujud yang menjadi objek penelaahan, serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek tersebut.
2.      Epistemology (bagaimana). Merupakan asas mengenai cara bagaiman materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan.
3.      Aksiologi (untuk apa). Merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
Dengan ketiga komponen tersebut di atas, maka akan terdapatlah rumusan yang dapat menjawabnya. Rumusan tersebut menurut Sir Eric Ashby (dalam, Miarso, 2004: 104), tergambar dalam revolusi-revolusi sebagai berikut:
Revolusi Pertama. Terjadi pada saat orang tua atau keluarga menyerahkan sebagian tanggung-jawab pendidikannya kepada orang lain yang secara khusus diberikan tanggung-jawab untuk itu. Revolusi ini tidak diketahui dengan pasti awal terjadinya.
Revolusi Kedua. Terjadi pada saat guru sebagai orang dilimpahkan tanggung-jawab untuk mendidik, pengajaran saat itu diberikan secara verbal/lisan, dan sementara itu kegiatan pendidikan dilembagakan dengan berbagai ketentuan yang dibakukan. Revolusi kedua ini jugatidak diketahui permulaannya.
Revolusi Ketiga. Muncul dengan ditemukannya mesin cetak, yaitu memungkinkan tersebarnya informasi iconic dan numeric dalam bentuk buku atau media cetak lain. Dalam sejarahnya revolusi ketiga ini meskipun dalam literatur Barat banyak menganganggap bahwa Gutenberg-lah yang menemukaan mesin cetak ini, akan tetapi jauh sebelumnya dikemukaan bahwa teknik pencetakan telah berkembang lebih dulu di Cina.
Revolusi Keempat. Pada revolusi ini berlangsung dengan perkembangan yang pesat dibidang elektronik. Yang paling menonjol adalah media komunikasi (radio, televisi, tape, dll). Dengan pesatnya perkembangan elektronik, pendidikan mulai difokuskan pada mengajar anak didik tentang bagaimana belajar. Ajaran selanjutanya akan diperoleh di pembelajar sepanjang usia hidupnya melalui sumber dan saluran, dimana guru tidak dapat lagi untuk mengontrolnya. Atau minimal peran guru berkurang, dan guru tidak dapat mengklaim dirinya sebagai.Sudut pandang yang baru mengenai teknologi pendidikan menggunakan beberapa pendekatan dengan ciri-ciri dalam Yusufhadi Miarso (2007: 108) :
a.       keseluruhan masalah belajar dan upaya pemecahannya ditelaah secara simultan. Semua situasi diperhatikan dan dikaji saling kaitannya, dan bukannya dikaji secara terpisah-pisah.
b.      Unsur-unsur yang berkempentingan diintegrasikan dalam suatu proses komplek secara sistemik, yaitu dirancang, dikembangkan, dinilai dan dikelola sebagai satu kesatuan, dan ditujukan untuk memecahkan masalah.
c.       Penggabungan ke dalam proses yang komplek dan perhatian agar gejala secara menyeluruh, harus mengandung daya lipat atau sinergisme, berbeda dengan hal dimana masing-masing fungsi berjalan sendiri-sendiri.

Ada 6 hal kegunaan yang potensial dalam teknologi pendidikan yaitu:
a.       Meningkatkan peroduktivitas pendidikan dengan jalan
1)      memperlaju penahanan belajar
2)      membantu guru untuk menggunakan waktunya secara lebih baik
3)      mengurangi beban guru dalam penyajian informasi, sehingga guru dapat lebih banyak membina dan mengembangkan kegairahan belajar anak.
b.      Memberikan kemungkinanan pendidikan yang sifatnya lebih individual dengan jalan
1)      mengurangi kontrol guru yang kaku dan sederhana
2)      memberikan kesempatan anak sesuai kemampuannya
c.       Memberikan dasar pengajaran yang lebih ilmiah dengan jalan
1)      perencanaan program pengajaran yang lebih sistematik
2)      pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi penelitian tentang prilaku
d.      Lebih menerapkan pelajaran, dengan jalan
1)      meningkatkan kapasitas manusia dengan berbagai media komunikasi
2)      penyajian informasi dan data secara lebih konkrit
e.       Memungkinkan belajar  lebih akrab
1)      mengurangi jurang pemisah antara pelajaran didalam dan diluar sekolah
2)      memberikan pengetahuan tangan pertama
f.       Memungkinkan penyajian pendidikan lebih luas dan merata, terutama dengan jalan
1)      pemanfaatan bersama tenaga atau kejadian yang langka

2)      penyajian informasi menembus batas geografi

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan pengertian teknologi pendidikan tahun 1977-1994-2004

  Perbedaan pengertian teknologi pendidikan tahun 1977-1994-2004 1.       Tahun 1977 dan 1994 Pengertian Teknologi Pendidikan dalam AECT ( 1977:1) : ” Teknologi Pendidikan adalah proses kompleks yang terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana, dan organisasi untuk menganalisis masalah dan merancang, melaksanakan, menilai, dan mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar pada manusia .” Definisi Teknologi Pendidikan adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi proses dan sumber untuk belajar Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan mencolok kedua paradigma TP tahun 1977 dengan 1994 adalah: a.        Perubahan istilah teknologi pendidikan menjadi teknologi pembelajaran b.       Penekanan orientasi pada definisi tahun 1977 pada praktik, sedangkan orientasi pada definisi tahun 1994 meliputi dua bidang yaitu teori dan praktik. c.        Pada definisi tahun 1977 kawasan kerja bidan

Definisi Pertumbuhan Dan Perkembangan Peserta Didik

 Definisi Pertumbuhan Dan Perkembangan Menurut Para Ahli Ilustrasi Source : anaksholeh.net a.     Pertumbuhan Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses  pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang  sehat pada waktu yang normal. Pertumbuhan dapat juga diartikan sebagai proses  transmisi dari konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaan jasmaniah ) yang  herediter dalam bentuk proses aktif secara berkesinambungan. Jadi, pertumbuhan  berkaitan dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut peningkatan ukuran dan  struktur biologis b.    Perkembangan Secara umum konsep perkembangan dikemukakan oleh Werner(1957) bahwa  perkembangan berjalan dengan prinsip orthogenetis, perkembangan berlangsung  dari keadaan global dan kurang berdiferensiasi sampai ke keadaan di mana  diferensiasi, artikulasi, dan integrasi meningkat secara bertahap. Proses diferensiasi  diartikan sebagai prinsip totalitas pada diri anak. Dari pengh